Bicara Soal Halal Travel di Kota Jeepney

Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)

16th Annual International Conference on Japanese Studies di Ateneo de Manila University menjadi pengalaman kedua saya mengikuti konferensi di Filipina. Kunjungan pertama terjadi pada 2016 ketika saya berkesempatan menjadi salah satu pemakalah di JSA-ASEAN yang berlangsung di Cebu. Pengalaman ini kali ini menjadi menarik karena, selain dapat menjalin relasi baru dengan sesama akademisi, saya juga dapat melepas rindu bersama para kolega dari Filipina yang telah saya kenal sebelumnya.

Perjalanan saya dari Jakarta-Manila ditempuh dalam waktu 3 jam 40 menit. Saya mujur karena  terdapat penerbangan langsung dari Jakarta-Manila, sehingga tidak perlu melakukan transit di kota lain. Bersama seorang rekan dari Universitas Indonesia bernama Filia, saya pun bertolak menuju Ninoy Aquino International Airport. Ketika kami sampai di Manila, waktu telah menunjukkan pukul 19.30 malam. Kami tidak beruntung karena ternyata tiba di Filipina pada jam pulang kantor adalah kesalahan besar. Jalanan macet adalah yang pertama kali menyapa dalam setiap kilometer yang kami tempuh. Jika kondisi normal, perjalanan kami dari bandara ke hotel seharusnya hanya memakan waktu 40 menit. Namun kami ternyata harus berakrab ria dengan jalanan Manila selama 2.5 jam.

Jeepney di Manila (Sumber: static.straitstimes.com)

Pemandangan kota Manila sejatinya mengingatkan saya pada Jakarta. Bagi saya ada terlalu banyak kemiripan antara dua kota tersebut. Jalan layang, toko-toko sepanjang jalan, hamparan tiang listrik dengan kabel menjuntai, pedagang kali lima di persimpangan, hingga anak jalanan semua terasa serupa dengan Jakarta yang kita kenal. Yang membedakan Manila dengan kota Jakarta hanyalah bahasa yang digunakan. Selain itu, Manila juga memiliki transportasi umum khas bernama jeepney yang fungsinya mirip dengan angkot di Jakarta. Namun, dibandingkan angkot, jeepney memiliki dimensi lebih besar dan kapasitas penumpang lebih banyak. Selain itu, jeepney juga memiliki warna-warna yang cenderung cerah seperti merah, tosca, dan kuning.

Saya merasa tersanjung dengan penyambutan yang dilakukan oleh panitia. Setiap pagi kami dijemput dari hotel untuk bersama-sama menuju kampus Ateneo de Manila di Quezon City. Bertema Endless Discovery: Re-evaluating Japan’s Travel and Tourism, konferensi yang mendapat sponsor dari Toshiba Foundation dan Japan National Tourism Organization (JNTO) ini mengusung lima pembicara utama dari Jepang, Amerika Serikat, dan Australia, serta sepuluh pemakalah dari Filipina, Indonesia, Jepang, Vietnam, dan Thailand.

Saat presentasi di Ateneo de Manila University (Dok: Filia)

Saya memberikan presentasi berjudul Indonesian Netizen Perception on Halal Tourism and Sharia Tourism. Wisata berkonsep halal merupakan tren terbaru dari industri pariwisata dunia mengingat saat ini sudah ada 106 juta muslim yang melakukan perjalanan liburan (Husain, 2015). Pangsa pasar senilai 145 milyar dollar Amerika ini mencakup 10% dari seluruh bisnis wisata dunia. Sebuah jumlah yang patut diberikan perhatian lebih lanjut.

Selain mendengarkan presentasi dari rekan-rekan lain, kami juga diberikan kesempatan untuk saling berdiskusi secara informal saat makan malam bersama. Beberapa mahasiswa dan dosen dari Ateneo de Manila dan University of Philippines (UP) pun turut hadir dalam kesempatan itu. Pada momen itu, ada satu hal yang saya sadari dari kuliner Filipina. Jenis makanan di Filipina memiliki  kedekatan rasa dengan masakan Indonesia. Kedua tradisi kuliner Asia tenggara tersebut sama-sama menggunakan rempah dasar seperti bawang, jahe, dan cabai. Namun, pada saat yang sama masakan Filipina juga sangat dipengaruhi oleh cita rasa wilayah lain seperti  Tiongkok, Spanyol, dan Meksiko.

Foto Bersama Para Pembicara Utama dan Pemakalah (Dok: Ying Nirin)

Sebagai Muslim yang sedang berada di negara tetangga, saya berusaha agar asupan tetap terjaga kehalalannya. Beruntung, rekan saya yang sekaligus penyelenggara bernama Karl Ian Cheng Hua dari Ateneo de Manila University memperhatikan kombinasi menu yang disajikan. Selain menu daging, kami pun disuguhi masakan jenis seafood dan sayuran yang halal. Karl pun kerap memberitahu mana yang boleh saya santap dan mana yang tidak.

Lalu, bagaimana dengan pengalaman halal saya selama di Manila? Meskipun banyak restoran yang menyediakan menu halal, saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk mencicipinya.  Namun, di supermarket Robinson saya dapat menemukan bagian cemilan berlabel halal. Di bawah sertifikasi dari Islamic Da’wah Council of the Philippines (IDCP), makanan produksi Filipina itu seperti mangga kering, biskuit, hingga kacang-kacangan dapat dikonsumsi oleh muslim tanpa rasa khawatir. (Editor Ibnu Nadzir)

Daftar Pustaka

Husain, Oman. “This Entrepreneur Left a 20-Year Corporate Career to Changer the Way Muslim Travel”, Techniasia, 21 Agustus 2015, https://www.techniasia.com/entrepreneur-left-career-change-muslim-travel (diakses 28 Januari 2018)

*) Dipublikasikan pertama kali di http://pmb.lipi.go.id/bicara-soal-halal-travel-di-kota-jeepney/

 

Leave a comment